Sebuah Catatan, Belajar Mengelola Desa Wisata dari Penglipuran
|
KUNJUNGAN: Sejumlah awak media Lombok Timur saat mengunjungi Desa Wisata Penglipuran. |
BALI -- Pariwisata Bali sudah sangat masyhur. Tak heran semua orang di seluruh dunia ingin menikmati keindahannya.
Nyaris semua spot wisata di daerah ini selalu ramai dikunjungi wisatawan. Seperti di Desa Penglipuran, misalnya.
Sabtu (29/5), JEJAK LOMBOK menuju desa wisata yang satu ini. Sepanjang perjalanan di jantung kota, Denpasar, rupanya jalanan padat merayap.
Padahal hari itu hujan cukup lebat mengguyur. Namun begitu, tak tampak satu pun pengendara memilih berteduh.
Orang-orang sepertinya membiarkan diri mereka diguyur hujan sembari menikmati pemandangan sepanjang jalan.
Sejam berlalu, hujan pun sudah pamit. Setiba di Kabupaten Bangli, Kecamatan Bangli, Desa Penglipuran, pemandangan mulai nampak berbeda. Jalanan nampak lebih lengang dan hanya satu dua kendaraan yang lewat.
Pihak travel agen yang membawa media ini bersama rombongan menyebut, Penglipuran merupakan areal wisata pegunungan. Pantas saja udara di sekitar terasa sejuk.
Aspal mulus dengan lintasan berliku dan menanjak menjadi pembenar apa yang disampaikan pihak travel agen. Jalan itu semakin diperindah dengan kondisinya yang bersih.
Rerumputannya tertata rapi memanjakan mata. Sesekali di kedua sisi jalan nampak pedagang lukisan. Kesan itu menahbiskan kawasan tersebut sudah mulai berada di spot wisata.
Desa Penglipuran secara administratif terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Di lokasi itu, nampak rumah berjejer rapi dengan jalan panjang yang menanjak berundak.
Komplek perkampungan itu dilengkapi dengan berbagai fasilitas layaknya tempat hunian. Namun begitu, suasana pedesaan tetap lekat ditonjolkan.
Kunjungan ke desa wisata yang masyhur ini rupanya tengah ramai dikunjungi. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Siapa pun yang berkunjung ke tempat itu pasti merasa betah. Selain konsep wisatanya yang kuat mengusung nuansa pedesaan, juga keramahan penduduk yang tinggal di wilayah wilayah itu.
"Desa kami ini menjadi ikonnya, di sini ini pemukiman," kata salah satu pengelola wisata setempat, Nengah Moneng.
Ciri khas dari tempat itu, yakni atap rumah berbahan dasar bambu khususnya bangunan tradisional. Hal itu diwajibkan di setiap gerbang masuk setiap rumah di lokasi itu.
Dia menuturkan, konsep tata ruang ditempat itu yakni Tri Mandala. Yang berarti tiga pesona. Jika ditarik, paparnya, maka filosofinya yakni Tri Hita Karana.
Dimana ada tiga bagian penting dalam konsep tata ruang itu. Yakni bangunan paling utama yang letaknya paling tinggi yakni Prahiyangan, tempat suci.
Di tempat itu, sebutnya, terdapat pura dan hutan bambu seluas 45 hektar.
Bangunan kedua, yakni pemukiman warga setempat seluasnya 9 hektare, yang dihuni oleh 240 kepala keluarga (KK). Warga yang tinggal di lokasi itu tak boleh memasuki kendaraan ke areal tersebut.
Bagi penghuni yang memiliki kendaraan masuk melalui pintu belakang. Untuk itu pihaknya telah membangunkan jalan melingkar.
Terakhir, fasilitas umum dan yang lainnya, luasnya mencapai 9 hektar. Selebihnya kawasan itu semuanya lahan pertanian.
"Jadi luas keseluruhan lokasi itu 112 hektar. Mayoritas pekerjaannya petani, tapi lahannya tak begitu luas," ucap pria ini sambil tersenyum.
Destinasi satu di kelola disebutnya oleh desa adat. Sehingga hasil dari pengelolaan lokasi itu diperuntukan untuk subsidi bangunan bagi masyarakat dan saat upacara keagamaan atau ritual tradisi setempat.
Setiap masyarakat, terangnya, mendapatkan subsidi yakni Rp 5 juta bagi ada kerusakan. Namun hal itu khusus untuk bangunan tradisional, atau gerbang lantaran diwajibkan memakai bambu.
Saat ini, imbuhnya, pihak pengelola hanya mampu memberikan nominal sejumlah itu. Namun demikian, pemberian itu kedepannya ditingkatkan dan hal ini tengah dibahas di majelis adat.
Masih kata Nengah Moneng, jika dulu ketika ada upacara adat warga setempat urunan membiayai gelaran itu. Tapi sekarang tidak lagi lantaran sudah ada kas tersendiri untuk itu.
Kendati demikian, tak semua warga menyiapkan penginapan. Hal ini disebutnya tak dipaksakan, itu dapat dilakukan bagi yang mau saja.
"Tetap dikoordinir oleh pengelola," ucapnya.
Di desa wisata ini memberlakukan aturan dan larangan adanya poligami. Bagi warga yang melakukan hal tersebut, maka akan dipindahkan ke lokasi khusus yang disebutnya komplek Karang Memadu.
Keunikan lain dari desa wisata ini ialah, perlakuan terhadap orang meninggal, dalam pelaksanaan upacara Ngaben. Di tempat ini, disediakan tiga lokasi kuburan yang berbeda.
Bagi yang ajalnya karena salah pati dan ulah pati seperti bunuh diri atau lantaran kecelakaan akan menempati kompleks yang telah disediakan secara khusus.
Bagi yang meninggal dalam usia anak-anak atau belum menikah, juga memiliki lokasi kuburan tersendiri. Begitu pun bagi yang tua maupun sudah berkeluarga disediakan tempat tersendiri.
Perbedaan lain juga yakni posisi peletakan orang yang meninggal. Yaitu kepala menghadap ke barat, ke arah matahari terbenam.
Bedanya jika mayatnya perempuan, posisi menengadah melambangkannya sebagai ibu pertiwi. Sedangkan pria, posisi tengkurep melambangkan bapak angkasa.
Perbedaan yang lainnya juga terletak pada upacara Ngaben-nya. Jika ditempat lain mengenakan bade (tempat membakar jenazah yang menyerupai rumah). Namun di tempat itu tidak menggunakan hal tersebut.
Di lokasi itu juga, tidak ada melakukan pembakaran mayat dan tidak ada penggalian mayat seperti upacara ngaben pada umumnya.
Keunikan lain yang dapat ditemukan di Desa Penglipuran yakni tak terdapatnya kasta. Kalau pun ada itu merupakan warga luar yang nikah ke tempat itu.
"Memang kita beda dan itu membuatnya unik," ucapnya.
Dirinya menerangkan, desa wisata Penglipuran ownernya atau pemiliknya ialah desa adat. Bukan desa yang tercantum dalam UU tentang desa.
Namun desa yang dimaksud terbentuk merujuk pada peraturan daerah tentang Desa Adat, khususnya di Kabupaten Bangli. Karena itu, Desa Penglipuran secara administratif Maka terletak di Kelurahan Kubu, Bangli.
Jadi, ucap pensiunan PNS ini, jika ditanya soal anggaran yang berasal dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), ia mengaku tak mendapatkan dana dari hal itu.
"Jadi kalau ditanya itu, kami tidak dapat dana dari BUMDes, karena kita ini kelurahan," bebernya.
Kendati demikian, paparnya, sebelum pandemi menggempur, omset dari pengelolaan itu dalam satu tahunnya khusus dari penjualan tiket tembus Rp 4,9 miliar. Angka itu didapatinya sebelum virus ini menyerang, tepatnya pada 2019 yang lalu.
Pendapatan itu, jelasnya, disetor dulu ke pemerintah daerah (Pemda). Baru nantinya dibagikan ke pemerintah desa (Pemdes). Dulu, ucapnya, pemerintah mengambil 60 dan untuk desa adat 40 persen.
"40 persen ini dibagi dua lagi, 20 persen untuk desa adat dan 20 persen ke pengelola," paparnya.
Meski begitu, kata dia, pembagian yang 20 persen untuk pengelola itu, bukan menjadi hak milik. Namun, hak kelola sesuai dengan aturan adat.
Tapi tahun 2021 ini, terjadi perubahan pembagian hasil dari kepariwisataan itu. Yakni desa adat yang mendapat 60 dan pemerintah daerah 40 persen. Namun untuk pengelola kawasan setempat tetap 20 persen.
Dia menjelaskan, omset keselurahan setiap tahunnya berasal dari pendapatan penjualan souvenir, homestay, tiketing dan dari atraksi paket wisata setempat tembus Rp 21 miliar.
Dia menerangkan, tempat ini sempat ditutup sementara lantaran menyeruaknya virus corona. Penutupan ini berbuntut pada penghasilan itu yang mengalami penurunan.
Desa wisata ini baru dibuka per satu Januari 2021 ini. Dengan mendapatkan izin penerapan CHS yaitu, Cleanliness, Health dan Safety.
Saat ini, imbuhnya, pengunjung per harinya mencapai rata-rata 100 samapi 150 orang perharinya.
Jika musim libur, seperti Hari Raya Idul Fitri, tembus 2000 wisatawan per harinya. Namun demikian, pihaknya tetap menghitung rata-rata dalam jumlah 100 sampai 150 orang.
Jumlah itu, jelasnya, dikalikan dengan karcis masuk Rp 25 ribu per orang untuk orang dewasa.
"Anggap saja yang masuk dewasa semua. Kali kan Rp 25 ribu, itulah pendapatan per harinya," ucapnya. (kin)