Oleh Febrian Putra |
Perbedaan di Indonesia bagian dari sunnatullah (ketetapan Allah). Masyarakat Indonesia memiliki ratusan suku dan beragam bahasa. Negara menjamin kebebasan beragama.
Meski begitu, masih saja ada kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak. Menafikan ragam perbedaan. Lebih ekstrem lagi, melakukan teror mengatasnamakan agama.
Semalam, Minggu 25 April 2021, tiga ulama kenamaan Indonesia, Pendiri Pusat Studi Alquran Muhammad Quraish Shihab, Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia sekaligus Ketua Umum Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyah (NWDI) TGB HM Zainul Majdi, serta Sekretaris Jendral OIAA Muhammad Muchlis Hanafi secara khusus membahas perbedaan beragama di Program Oase Ramadan dengan tema Moderasi Beragama.
Penulis mencatat, beberapa penjelasan Profesor Quraish Shihab tentang arti moderasi. Di kamus Bahasa Indonesia memunculkan beragam penjelasan mengenai moderasi. Dapat diartikan kecenderungan berada di pertengahan. Menghindari tindakan ekstrem melalui sikap dan perbuatan.
Begitu pula pengertian definisi moderasi. Pengertian ilmiah tentang moderasi begitu banyak. Filosof Yunani telah membahas mengenai moderasi. Di dalam bahasa Alquran antara lain ialah Wasathiyah berasal dari kata Wasath. Kata ini kemudian dalam bahasa Indonesia dikenal dengan wasit.
Ulama yang akrab disapa Abi Quraish ini melanjutkan, wasit tidak cenderung ke kanan maupun ke kiri. Wasit dapat menegur bahkan mengusir pemain yang curang. Pun begitu dengan Wasathiyah tidak selamanya berada ditengah. Kadang harus berani menegur. Oleh sebab itu, wasathiyah perlu diwujudkan dengan nilai-nilai.
Di dalam Alquran dan Hadis, Wasathiyah ini seperti tertuang pada ayat yang berbunyi Siratal Mustaqim, maknanya jalan lurus yang lebar. Jalan lebar ini sanggup menampung banyak pejalan. Tidak perlu bertengkar. Diperbolehkan jalan berbeda-beda untuk mencapai tujuan kepada Allah selama sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Penulis menangkap, Abi Quraish seolah menyentil bila jalan lurus itu lebar. Untuk mencapainya, tak perlu bertengkar. Paling utama, memiliki tujuan yang sama untuk mencapai ujung jalan.
Di ayat lain Abi Quraish menyebut ayat yang berbunyi : يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
(Yahdii bihillahu manittaba’a ridwaanahu subulassalam wa yuhrijuhum minaddhulumaati ilaannuri bi’idnihi wayahdiihim ilaa siraatal mustaqim, Surat Al Maidah Ayat 16).
Tuntunan agama mengantar ke Siratal Mustaqim. Memberi petunjuk beraneka jalan, bukan hanya satu petunjuk. Itulah Subulus Salam, jalan damai yang bermacam-macam akan membawa ke Siratal Mustaqim.
Wasathiyah tidak dapat diartikan secara matematis selalu ditengah. Filsuf Yunani berkata yang baik itu pertengahan. Seperti sifat boros dan kikir pertengahannya adalah dermawan. Sebaliknya ada pula yang secara matematis tidak dapat ditentukan pertengahannya.
“Benar itu ada tidak pertengahannya. Benar ya benar. Salah ya salah. Tidak ada pertengahannya,” ucapnya.
Untuk itu, ada istilah lain dari Wasathiyah yaitu Assadat. Tepat waktu dan tepat sasaran. Di dalam Hadis disebutkan boleh menegur pembicara ketika mengganggu pendengar lain.
“Pertanyaannya, bagaimana ketika ada berbicara ketika khotib sedang berkhutbah. Jelas (berbicara) itu dilarang. Meski ini benar, tidak berada pada situasi yang tepat (menegur) baik waktu dan tempat,” katanya.
Moderasi Beragama Butuh Pengetahuan
Di berbagai kesempatan Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Cabang Indonesia TGB HM Zainul Majdi menjelaskan tentang pentingnya mendalami agama secara sungguh-sungguh. Termasuk diantaranya memilih guru.
Di dalam tradisi keislaman dikenal dengan sanad keilmuan. Ketika menimba ilmu, guru dengan detil sanggup merunut silsilah ilmu. Biasa kerap disebut ilmu muttasil (tersambung). Ilmu agama apapun yang diberikan muaranya nanti akan kembali kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Meraih sanad ini tentu saja tak mudah. Perlu proses. Ada kesungguhan dan kesabaran. Dalam tradisi Jawa pun disebut menempuh tirakat khusus. Setelah tuntas, tak buru-buru untuk naik ke panggung. Masih kembali muthala’ah (menelaah).
Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini? Kita memasuki Post Truth Era, nyaris susah membedakan ujaran-ujaran ketika sampai di ruang publik. Masuk dunia maya kemudian viral. Ditambah lagi, akses memperoleh informasi didapat begitu cepat. Dengan membuka Google atau Youtube, kemudian menghafal satu atau dua Hadis dapat dengan mudah menyalahkan. Tak sedikit yang mengambil rujukan karena pemuka agama tersebut berstatus “selebritis”.
Perbedaan dianggap menjadi masalah serius. Menyudutkan amaliah dari saudara seagama. Menghukum saudara berbeda agama.
Kembali mengutip pernyataan Abi Quraish, Wasathiyah bukan pakaian jadi. Perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Moderasi beragama memerlukan pengetahuan tentang kondisi dan ajaran agama, serta memerlukan kehati-hatian.
Begitu penting memasukkan pengetahuan-pengetahuan mengenai moderasi beragama kepada masyarakat khususnya generasi muda. Membendung derasnya pengetahuan dari dunia maya yang kerap melompat-lompat. Mengajak mendekat kepada Tuhan, namun justru mengingkari Sunatullah jika Allah ciptakan manusia berbeda-beda.
* Penulis Buku Dakwah Nusantara Tuan Guru Bajang.
0 comments:
Post a Comment