Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
Tere Liye bertutur: “Mereka me-metak-metak tanah negeri seenak perutnya. Gunung-gunung di-akuisisi dan disulap menjadi tea plantation. Lembah-lembah dihibbahkan. Mereka tuan-tuan tanah tertawa pongah. Ketika rakyat telah melek membuka tabir, tuan-tuan tanah diusir. Mereka memang telah lari terbirit-birit, tetapi ternyata mereka tak lupa menyemai bibit. Tuan-tuan tanah dari bangsa sendiri mewarisi polah tingkah mereka yang terusir. Pulau dipotong-potong menjadi konsesi kebun-kebun sawit. Tanah-tanah dilubangi hingga menjadi konsesi pertambangan. Nyaris tak tersisa, tetapi tiada kepuasan dan tak cukup dengan tanah-tanah daratan. Mereka kemudian mengkavling samudera dengan tanda bendera-bendera bahtera. Mereka semakin kuat dan berada di puncak kekuasaan yang tinggi, hingga dengan mudah mengatur segalanya, bahkan melebihi pemilik negeri ini.”
Penuturan Tere Liye setidaknya menyoroti tentang ketidakseimbangan. Watak penaklukan terlalu mencolok, nyaris menyerupai penjajahan. Watak kesewenang-wenangan dan keserakahan itu kemudian meninggalkan under- development (keterbelakangan). Persoalan apakah penuturan Tere Liye ini fakta, fiksi, atau fiktif, bukan menjadi esensi artikel ini. Bagi penulis, secara kontektual substansialis, penuturan yang gamblang ini menjadi sebuah pandangan penting tentang system tatanan kepemilikan tanah dan lahan yang bisa penulis jadikan frame of refrence dalam meramu analisis pada artikel ini.
Soal bumi atau tanah bukan hal remeh. Adalah hal yang sangat penting karena bumi atau tanah menjadi syarat kelangsungan hayati. Bumi atau tanah adalah hunian. Bumi atau tanah merupakan mata pencaharian. Bumi atau tanah sesungguhnya soal kedaulatan sebuah bangsa. Bumi atau tanah melebihi “segalanya.” Ia menguasai hajat hidup individu dan orang banyak. Maka ketika individu dan atau orang banyak tidak menguasainya, mereka bisa jadi musnah dan mungkin pula punah samasekali.
Di Indonesia, bumi. air, dan segala yang terkandung di dalamnya, serta menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tatanan nasional tentang bumi ini menyahuti tuntutan kelangsungan hayati, baik individu atau pun orang banyak. Tatanan ini menutup peluang monopoli penguasaan bumi atau tanah dan wilayah perairan yang tentu menjadi ancaman integrasi bangsa. Tatanan ini sekaligus menjadi proteksi bagi etnis yang mengalami keterbatasan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditegaskan: Pertama, pada Bab I pasal 4 Ayat 1 “Bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Kedua, Bab I pasal 4 Ayat 2, “bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersanggkutan, demikian pula tubuh bumi dan air, serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peratuan hukum lain yang lebih tinggi.
Tanpa bermaksud mendebat tatanan yang begitu manusiawi dan agung, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, penulis meyakini bahwa di Indonesia sesunguhnya tidak sepi dari kasus-kasus monopoli penguasaan tanah dan lahan. Dua tahun yang lalu, kasus-kasus ini mengemuka menjadi “ping – pong” dalam debat Pilpres. Dengan demikian maka kasus-kasus penyimpangan dalam praktek penguasaan tanah adalah fakta, bukan isapan jempol belaka. Artinya, secara de jure pengaturan penguasaan atas tanah atau lahan sangat proporsional. Sementara itu, secara de facto, kasus-kasus penggergahan sekaligus penguasaan tanah dan lahan oleh segelintir orang di Indonesia jauh tinggi meninggalkan sub-ordinat nihil.
Menjauhnya praktek penguasaan tanah dari koridor yang ada harus dihentikan. Kalau tidak dihentikan, maka fungsi-fungsi social hak kepemilikan tanah tidak tewujud. Akibatnya akan terjadi masalah social yang meluas dan mungkin menggunung. Sebuah Negara dengan masalah social yang tidak terkendali akan terseret pada situasi krisis berkepanjangan yang tidak mudah dinormalisasi. Maka untuk mengembalikan Negara pada suatu kondisi yang kondusif, seluruh elemen bangsa harus mengatakan “yes” terhadap penegasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, tepatnya pada pasal 7 yang menyatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” Penegasan ini sangatlah penting digigit layaknya menggigit daging dengan geraham yang tajam.
Dalam Islam, pengaturan tanah atau bumi ini dikenal dengan Ahkam al-Ardhi. Mahasan dalam kajiannya yang berjudul: “ Pertanahan Dalam Hukum Islam,” menegaskan bahwa Ahkam al-Ardhi meliputi soal-soal kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi’). Ketiga perkara ini diatur dengan bedasar pada beberapa surat dan ayat dalam Kitab Suci Al-Qur’an.
Dasar yang pertama dalam mengurai perkara Pertanahan Dalam Hukum Islam adalah QS. An-Nur Ayat 42 yang menyatakan: “Dan Alloh-lah yang menguasai kerajaan langit dan bumi, serta kepada Alloh jua semua akan kembali. Dasar yang kedua adalah QS. al-Hadid Ayat 2 yang menguraikan: “Dialah yang menguasai kerajaan langit dan bumi, Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Yasin Ghadiy dalam Al-Amwal wa al-amlak al-ammah fil Islam menfasirkan ayat-ayat di atas dengan sebuah penegasan bahwa hakekat pemilik tunggal bumi dan langit adalah Alloh SWT. Dengan kekuasaan-Nya kemudia Ia memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola bumi dan langit sesuai dengan firman-Nya. Hal ini mengacu pada QS. al-Hadid Ayat 7 yang menyatakan: “nafkahkanlah sebagian dari harta yang Alloh telah kuasakan kepadamu untuk menguasainya.” Dalam Tafsir Al-Qurthubi Juz I hal 130, Imam Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini menguraikan bahwa ashlul milki (asal-usul kepemilikan) adalah Alloh SWT. Sementara manusia tidak memiliki hak, kecuali memanfaatkan (tasharuf) dengan cara yang diridhoi Alloh SWT.
Mencermati tafsir ayat-ayat di atas, maka soal-soal kepemilikan tanah dan atau pemanfaatannya dapat dilakukan oleh manusia dengan fungsi kekhalifahannya. Artinya, khalifah atau manusia yang terpilih menjadi pelaksana kuasa Alloh SWT, tidak diperkenankan memanfaatkan atau mengatur pembagian hak atas tanah dengan sewenang-wenang. Seluruh rangkaian penyelenggaraan “kuasa” harus merujuk pada ketentuan Pemberi Kuasa.
Khusus mengenai cara memperoleh hak kepemilikan tanah, baik tanah Ushriyah maupun Kharajiyah, Islam menetapkan beberapa mekanisme, yakni: 1). Dengan jual-beli, 2). Waris, 3). Hibbah 4). Ihya’ ul-mawat atau pemanfaatan tanah yang tandus tidak terkelola, 5). Tahkir atau membuat batas-batas pada tanah mati, 6). Iqtho’ atau kebiajkan pembagian tanah kepada rakyat yang dilakukan Negara atau pemerintah yang berkuasa.
Dalam lingkungan Masyarakat Sasak klasik, tatanan yang mengatur hak atas tanah persis seperti yang berlaku dalam hukum Islam. Penegasan tentang tatanan pengaturan hak milik atas tanah di lingkungan masyarakat Sasak klasik ini dinyatakan oleh Prof. Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul: “ Percontohan Hak-Hak Tanah di Indonesia.” Erosi tatanan hak pemilikan tanah secara bersama (beklemd bezilrecht) terjadi setelah di Lombok terbentuk stratifikasi dan kelas social. Bentuk stratifikasi dan kelas social dimaksud adalah adanya aristokrasi (perwangsa), petani, (kaula), dan buruh tani (panjak). Erosi atau perubahan tatanan penentuan hak pemilikan tanah semakin mencolok, ketika Bali melancarkan kolonialisme di Lombok. Pernyataan ini sebagaimana diterangkan dalam buku Lombok, Conquest, Colonized, and Underdevelopment 1870-1940, yang meupakan hasil penelitian Dr. Alfons Van Der Kraan.
Wujud perubahan tatanan hak pemilikan tanah di Lombok setelah terbentuknya stratifikasi dan kelas social di Lombok adalah hadirnya tatanan yang lebih memberikan dominasi pada hak-hak perorangan atas tanah. Secara umum. Ada dua bentuk penentuan hak atas tanah pada dominasi tersebut, yaitu, hak aristokrasi (perwangsa), baik Bali atau sasak (Vrij bezilrecht) dan hak yang diperoleh kelas petani (beklemd bezilrecht). Dalam dominasi ini juga ditentukan bahwa pada hak pemilikan tanah-tanah yang luas dan banyak bagi para aristokrasi (perwangsa), baik Bali atau Sasak, tidak diberlakukan pembatasan dengan norma-norma tekait pemilikan tanah secara bersama (beschikkingsrecht). Artinya, perwangsa memiliki kebebasan tanpa mempertimbangkan kemungkinan matinya hak-hak dan fungsi social pada tanah yang dikuasai mereka. Betul-betul Keduk Keke Lendang Goar, Sai Ngepe Ie Doang.
Informasi sejarah Sistem Tatanan Klasik Kepemilikan Tanah dan Lahan di Lingkungan Masyarakat Sasak ini menuturkan bahwa di era yang lalu, sifat berke-Tuhanan yang berkemanusiaan Bangsa Sasak, ternyata sangat mengagumkan. Hablum min an-nas berusaha dirawat dengan tidak mengabaikan keterlibatan Tuhan. Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan tenaga pendidik di SMA NW Pancor.
0 comments:
Post a Comment