(Membaca Sisi Strategis Pemuda Dalam Nalar Sasak dengan Kacamata Teori ‘Ashabiyyah Ibnu Khaldun)
Oleh: Dr. Jamiluddin M.Pd |
FRIEDRICH Nietzsche menyatakan “Der wille zur macht” (khendak berkuasa menjadi prinsip totalitas kehidupan manusia). Friedrich Nietzsche tidak berusaha mendifinisikan pernyataannya tersebut, malahan ia sengaja menjadikannya gamang untuk merangsang mengemukanya diskusi yang menantang. Rangsangan Friedrich Nietzsche pun akhinya melahirkan respon. Alfred Adler kemudian memasukkan pernyataan itu ke dalam kajian psikologi individual. Di Wina, opini bersayap ini disetarakan oleh Sigmund Freud dengan “Kemauan Untuk Mencapai Kesenangan.” Sementara dalam dunia logotrafi, Viktor Frank mengasumsikannya sebagai “Keinginan Untuk Bermakna.”
Walaupun Friedrich Nietzsche melakukan pembiaran opininya hingga menjadi liar, namun dia melakukan pengawalan dengan sebuah teori uniknya, yaitu: “ Teori Kekambuhan Abadi Dari Hal Yang Sama.” Teori ini pun membidani cukup banyak spekulasi. Salah satu spekulasi yang lahir adalah ide yang menegaskan “bahkwa keinginan berkuasa disepadankan dengan fisika potensial.” Artinya: teori ini mengukuhkan kehendak berkuasa dengan dalil pengulangan yang kekal. Paul Loeb sendiri akhirnya memberikan ulasan bahwa ide “Kekambuhan Abadi Dari Hal Yang Sama” menggambarkan bahwa Friedrich Nietzsche meyakini “Kekambuhan Kosmologis Yang Kekal.” Sementara itu, para ahli lainnya mengajukan gugatan atas teori tersebut agar memberi rujukan akademik yang valid. Sedangkan pakar-pakar yang memiliki kekentalan orientasi teologis memberikan replik terhadap teorik unik Friedrich Nietzsche dengan ulasan bahwa sesungguhnya manusia memiliki kehendak sampai dengan dia mengalami ketidakmampuan untuk berkendak.
Apapun ending perdebatan akademik tentang “Der wille zur macht” dan “Teori Kekambuhan Abadi Dari Hal Yang Sama,” milik Friedrich Nietzsche, pastinya kehendak berkuasa memang melekat kuat dalam setiap manusia. Setidak-tidaknya, manusia ingin merdeka dan berdaulat mutlak dalam mengurus kehidupanyya sendiri. Di sisi lain, keinginan atau kehendak berkuasa ini mendapat tantangan yang tidak ringan. Misalnya saja tantangan yang berkenaan dengan keterbatasan manusia, seperti: timbul tenggelamnya kekuatan, penua-an dan kematian. pasang-surut kualitas maupun kuantitas pengikut, dan faktor-faktor bencana alam yang tak terkendali atau tak terprediksi.
Faktor-faktor tantangan mewujudkan kehendak berkuasa pada prinsipnya dapat diimami dengan prepare penguatan sumberdaya manusia dan kaderisasi. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan prepare penguatan sumberdaya manusia dan kaderisasi adalah persiapan regenerasi untuk menghadirkan kapasitas memproduk peradaban baru dan besar dalam mengawal kehendak berkuasa yang berkelanjutan. Ibnu Khaldun dalam teori ‘ashabiyah-nya mengemukakan pendapat “bahwa hanya melalui penempaan masyarakat atau proses kaderisasi dengan cara yang hebat, serta berproses melewati ujian yang berat dan pahit, peradaban baru dan besar dapat dibidani. Ibnu Khaldun lebih rinci mengulas bahwa bila peradaban baru dan besar sebagai buah karya sumbedaya manusia hasil kadeisasi diaduk merata dengan solidaritas sosial atau ‘ashabiyah, maka kehendak berkuasa manusia atau suatu kaum akan dengan mudah dapat diejawantah.
Ketika bicara soal prepare penguatan sumberdaya manusia dan kaderisasi, maka perbincangan tidak bisa menafikan masalah generasi muda. Reason atau alasannya adalah kehendak untuk berkeuasa secara berkelanjutan tidak mungkin menjadi target yang diekskusi dan dipegang oleh generasi petahana atau incumbent secara terus-menerus. Alasan ini semakin menguat pada kasus sebuah kejayaan yang mendekati kehancuran. Dalam teori “ashabiyah disebutkan “bahwa ada suatu tahapan di mana sebuah kekuasaan atau kejayaan akan hancur dan ketika itulah hadir 3 kelompok generasi, dan salah satu kelompok generasi tersebut adalah Generasi pembangun, Generasi pembangun adalah generasi yang tidak sekedar sabar ketika terbanting dan terisolir sampai ke titik nadir, tetapi generasi yang berusaha bangkit melangit dari titik balik dengan heroisme dan trik-trik yang cantik nan cerdik. Dalam teori ‘ashabiyah atau solidaritas sosial diterangkan bahwa generasi pembangun adalah generasi yang memiliki nasionalisme dan solidaritas social yang mendorong mereka untuk berusaha keras melakukan restorasi pada saat kejayaan bangsa atau panutannya mendekati kehancuran. Persoalannya adalah: “Bagaimana generasi pembangunan bisa hadir jika sebelumnya tidak ada sesi kaderisasi?
Petanyaan di atas ternyata menjadi pertanyaan seksi. Manusia, baik secara individual atau bekelompok, atas alasan mewujudkan kehendak berkuasa secara berkelanjutan, rata-rata memosisikan kaderisasi sebagai ikhtiyar yang sangat fundamental. Mereka mulai berbenah mencegah masalah-masalah yang memicu kemungkinan eliminasi dirinya karena alasan punahnya generasi. Mereka mulai membina generasi sebagai refleksi ketak-relaan sejarah silsilah mereka hancur terkubur. Setiap suku bangsa seolah-olah ingin selalu ada lebih dari selamanya. Walau muskil adanya, merela tidak mudah menyerah. Walau melawan ketentuan, mereka terus menjelajah tanpa lelah. Pastinya harakah ini adalah ikhtiyar, samasekali bukan ingkar. Alloh Ta’ala sendiri tegas menyeru dalam QS al-Ra’d Ayat 11, “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum tersebut berusaha mengubah nasibnya sendiri.”
Sebagaimana suku bangsa-suku bangsa di dunia, suku Sasak juga menjadi tidak abai terhadap pentingnya kaderisasi. Suku bangsa yang mendiami Pulau Lombok tersebut berusaha membangun generasi ideal. Ikhtiyar ini semata-mata untuk menjamin kelangsungan keberadaan suku bangsa Sasak sebagai bagian tak terpisahkan dengan Bangsa Indonesia dan internasional dalam lingkup yang universal. Fakta ini menunjukkan bahwa nalar Masyarakat Sasak klasik senada dengan teori “ashabiyah Ibnu Khaldun dalam Kitabnya yang popular dengan tajuk “MUKADDIMAH.” Secara khusus dalam Nalar Sasak klasik diuraikan bahwa: “ kelangsungan sebuah suku bangsa, khususnya Sasak, bergantung pada mutu “TERUNE-DEDARE” (pemuda-pemudi) Sasak,” sebagai hasil kaderisasi seperti generasi pembangun dalam teori “ashabiyyah Ibnu Khaldun. Dalam nalar Masyarakat Sasak klasik, generasi Sasak yang akan mampu menyahuti regenerasi dan melakukan restorasi untuk mengangkat suku bangsanya lebih dari sekedar survive disebut “Terune Nyalah Dedare Tilah.” Ciri generasi Sasak dengan type “Terune Nyalah Dedare Tilah,” adalah: 1) Beriman dan bertaqwa kepada Alloh SWT, 2). Beakhlak mulia, 3). Bemoral dan berbudi pekerti luhur, 4). Memiliki nasionalisme yang hebat, 5). Cerdas dan mandiri, dan 6). Sehat lahiriyah dan batiniyah.
Mencermati indikator “Terune Nyalah Dedare Tilah,” maka tidaklah berlebihan jika tipe generasi yang setara dengan generasi pembangun pada teori ‘ashabiyah ini diyakini telah di-framing oleh tipologi kepemudaan Ashabul Kahfi sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Al-Kahfi Ayat 13 sampai dengan 14. Ayat-ayat tersebut berarti: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran."
Jelas dan terang pula bahwa tipe dan corak “Terune Nyalah Dedare Tilah” sesungguhmya sangat kental dan berasa mem-breakdown teladan kepemudaan Rasulullah SAW, Bagaimana tidak, Rasulullah SAW ketika muda terkenal dengan sikap dan sifat yang sungguh luar biasa. Beberapa sikap dan sifat tersebut antara lain: 1) Taat kepada Alloh yang ditandai kepatutannya memelihara hubungan dengan Alloh dan dapat dilihat dari praktek kehidupannya sehari-hari yang siddik, amanah, tabligh, dan fathonah. 2). Memiliki sifat kemandirian yang dibuktikan dengan keuletannya berniaga pada saat berusia 12 tahun, 3). Memiliki sifat nasionalisme kebangsaan yang tak diragukan. Sifat ini ditunjukkan ketika ikut berperang pada usia 20 tahun dalam perang Fijar antara suku Kinanah dan Qais, 4). Memiliki sikap politik yang dewasa dengan bukti ketika menjadi diplomat dalam perjanjian yang diabadikan dalam sejarah dengan sebutan Hilfu al-Fudhul, 5). Memiliki sifat dewasa dalam memilih pasangan hidup yang terbukti ketika memilih Siti Hadijah sebagai isteri pada usianya yang ke 25 tahunm, dan seterusnya.
Tipologi “Terune Nyalah Dedare Tilah” yang sedemikian rupa sebagaimana terurai di atas, tidak sekedar ulasan teoritis belaka, tetapi merupakan fakta sejarah yang dapat dipertanggungjwabkan secara akademik. Misalnya saja dibidang keagamaan kita mengenal keberadaan TGH. Umar Kelayu yang pada masa mudanya bergelut pada dunia ilmu pengetahuan hingga menjadi faqih dan membangun tonggak awal ke-Tuan Guru-an di Lombok. Demikian pula dengan TGH Syarafuddin. TGH Hambali, TGH Abdul Hafiz, dan tokoh fenomenal sang Pahlawan Nasional Almagfurlahu Maulanasysyaikh TGKH, Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Pada bidang pergerakan dan perjuangan nasionalisme, sejarah nasional mencatat nama TGH. Muhammad Faisal Abdul Majid, H. Jumhur Hakim, TGH. Ahmad Rifa’i Abdul Majid, Abdullah, Bapak H. Hasan, dan lain-lain.
Maka demikianlah “Terune Nyalah Dedare Tilah” membuktikan dirinya sebagai :Generasi Pembangunan” yang memiliki mobilitas tinggi dalam memberikan penjaminan terhadap kelangsungan, hidup bangsa, bahkan menghadirkan peradaban baru yang bermanfaat dalam merawat dan menumbuhkan martabat manusia sekaligus memosisikannya ke tempat yang terhormat. Sangatlah arif dan bijaksana jika kita berusaha melahirkan “Terune Nyalah Dedare Tilah” berikutnya dengan ikhtiar nyata, seperti melalui kaderisasi lewat jalur pendidikan sebagai wahana penempaan yang prima dan utama. Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan tenaga pendidik di SMAN 2 Selong.
0 comments:
Post a Comment